TEKS SUMPAH DAN PAKAIAN PADA PELANTIKAN DAN SUMPAH JABATAN PERADILAN AGAMA
Oleh : H. A. Zahri, S.H., M.H.I
1. Pendahuluan
Pelantikan dan sumpah jabatan adalah kegiatan yang terkait dengan keprotokolan, yakni serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.
Sependek pengetahuan penulis Mahkamah Agung RI belum memiliki peraturan tentang keprotokolan yang temasuk didalamnya acara pelantikan dan sumpah jabatan sebagaimana lazimnya telah dimiliki oleh sekretariat lembaga atau kementerian sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.
Buku I ada dibahas soal keprotokolan namun hanya pada aspek administrasi. Oleh karena itu, Pelantikan dan sumpah jabatan di Lingkungan Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung RI, khususnya hakim dan pimpinan, aturan mainnya haruslah diambil dari berbagai sumber sehingga dalam praktek antara satu dengan yang lain sering terjadi perbedaan.
Berbeda dengan pelantikan dan pengambilan sumpah di lingkungan Kesekretariatan, meskipun MARI belum punya peraturan keprotokolan sendiri namun telah dianggap memadahi bila mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran atau tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Bahkan secara detail pelantikan di lingkungan Sekretariat diatur dengan Peraturan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 15 Juni Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Jabatan Pimpinan Tinggi.
Perka BKN ini tentu harus dijadikan penduan pelantikan dan sumpah jabatan untuk Jabatan Administrator dan Jabatan Pengawas yang dilingkungan Peradilan Agama barangkali setara dengan Eselon III dan Eselon IV (Sekretaris Pengadilan Agama, Kasubag, Kaur dst). Juga untuk Jabatan Pimpinan Tinggi (Eselon I dan II). Adapun untuk jabatan fungsional non hakim: Panitera, Panitera Pengganti, Juru Sita/Juru Sita Pengganti, walaupun belum ada SK penyetaraan, apakah jabatan fungsional Non Hakim termasuk fungsional ketrampilan atau keahlian bisa diberlakukan Perka ini juga.
Pelantikan dan pengambilan sumpah pimpinan pengadilan dan hakim dalam pelaksanaannya ada yang seperti pelantikan pejabat sebagaimana diatur dalam Perka BKN tersebut, namun ada yang dalam bentuk sidang luar biasa. Ada yang disumpah dulu baru dilantik ada yang dilantik dulu baru disumpah. Untuk hakim ada yang dilantik tanpa disumpah. Demikian pula susunan acaranya, ada yang melantunkan lagu Indonesia Raya, Padamu Negeri dan ada yang tidak, teks sumpahnya juga sering beda. Belum lagi jika dirangkaikan kegiatan yang lain, misalnya pelepasan dsb.
Pelantikan dan sumpah jabatan hakim dan pimpinan pengadilan tidak sepenuhnya mengikuti Perka BKN Nomor 7 Tahun 2017 adalah wajar karena hakim tidak masuk dalam katagori jabatan administrator, pengawas, pimpinan tinggi maupun fungsional sebagaimana yang dimaksud Perka tersebut. Dalam undang-undang ASN Pasal 122 huruf E hakim dimasukkan rumpun pejabat negara yang sudah barang tentu tata cara dan acara pelantikan berbeda dengan PNS biasa. Karena hakim berbeda dalam banyak hal dengan PNS, maka hakim membutuhkan undang-undang tersendiri yang sering disebut Undang-Undang Jabatan Hakim yang sampai hari ini belum menjadi kenyataan.
2. Teks Sumpah
Dalam hal bunyi teks sumpah dan pakaian kebesaran antara PNS non hakim dengan hakim/pimpinan pengadilan jelas berbeda karena telah ada aturan khusus yang berlaku untuk hakim/pimpinan pengadilan. Bunyi teks sumpah untuk Hakim, baik Hakim Agung, Hakim Tinggi maupun Hakim Tingkat Pertama relatif sama. Hakim Agung berdasar Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung RI, sementara Hakim Banding dan Tingkat Pertama merujuk pada Undang-Undang sesuai lingkungan masing-masing. Hakim Pengadilan Agama misalnya, berdasar Pasal 16 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Teks sumpah hakim/pimpinan pengadilan/MA yang beragama Islam berbunyi, "Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban ...........(disebut jabatannya) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
Adapun untuk pejabat kesekretariatan/administrator, fungsional dan pimpinan tinggi bunyi teks sumpah jabatan jika beragama Islam berdasar pada Pasal 58, 88 dan 136 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS jo Perka BKN Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, "Demi Allah, saya bersumpah: bahwa saya, akan setia dan taat kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya, demi dharma bakti saya kepada bangsa dan negara; bahwa saya dalam menjalankan tugas Jabatan, akan menjunjung etika Jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya, dan dengan penuh rasa tanggung jawab; bahwa saya, akan menjaga integritas, tidak menyalahgunakan kewenangan, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela.”
Bunyi teks sumpah untuk pejabat kepaniteraan kemungkinan ada dua alternatif, pertama, mengikuti teks sumpah sesuai PP Nomor 11 Tahun 2017 yang telah dijabarkan dalam Perka BKN Nomor 7 Tahun 2017 bila jabatan kepaniteraan dianggap sama/selaras dengan jabatan fungsional sesuai ketentuan PP tersebut di atas, atau kedua, tetap merujuk kepada Pasal 37 dan 41 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jika Perturaturan Pemerintah apalagi Perka BKN tidak bisa mengubah bunyi undang-undang karena tidal selevel, maka bunyi sumpahnya adalah "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga". "Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang .....(disebut jabatannya) yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan."
Wal hasil, ada 3 (tiga) jenis teks sumpah jabatan yang berlaku di peradilan dan bila ditambah teks sumpah calon PNS menjadi PNS sebagaimana dirumuskan Pasal 66 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN jo Pasal 40 PP Nomor 11 Tahun 2017, maka menjadi 4 (empat) jenis teks sumpah yang memiliki varian yang berbeda. Rumusan teks sumpah PNS adalah "Demi Allah saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah; bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara".
3. Pakaian yang Melantik dan Dilantik
Pakaian dan asesoris yang dikenakan baik oleh yang melantik maupun yang dilantik dalam Perka BKN terkait dengan hal ini tidak diatur. Pakain pelantikan dan sumpah jabatan non hakim lazimnya menggunakan PSL (Pakaian Sipil Lengkap) dan untuk undangan menyesuaikan atau sesuai ketentuan penyelenggara. Namun setelah terbit Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2018 tentang Tata Pakaian pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi (baca pelantikan), pakaian pelantikan dan sumpah jabatan memiliki beberapa alternatif sebagaimana diatur pada Pasal 3, yakni: PSL, pakain dinas (seragam resmi), pakaian kebesaran dan pakaian nasional (adat nusantara). Maka tak heran ketika pelantikan pejabat tinggi sering kita lihat bapak presiden dan para menteri pakai pakaian nasional (adat).
Pakaian untuk pelantikan Hakim dan pimpinan pengadilan/MA telah diatur melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 23/KMA/SK/II/2019 tentang Ketentuan Pemakaian Toga Hakim dan Kalung Jabatan pada Acara-Acara Resmi di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Pada acara pelantikan dan sumpah jabatan Ketua/Wakil Ketua/Hakim yang melantik menggunakan toga dan kalung jabatan, yang dilantik menggunakan toga dan jika yang dilantik pimpinan maka usai pelantikan disematkan kalung jabatan. Pelantikan tenaga teknis (Panitera, Panmud, PP dan Juru Sita/Pengganti, yang melantik pakai toga dan kalung jabatan, yang dilantik pakai PSL. Jadi pelantikan hakim/pimpinan, tenaga teknis tidak boleh pakai batik atau pakaian adat Jawa atau Madura dll.
Soal pakaian pelantikan dan sumpah jabatan ini bukan hanya yang melantik dan yang dilantik yang diatur busana yang dikenakannya, tapi juga sang pendamping, istri tercinta (Dharmayukti Karini) dan para undangan. Dalam Buku Pedoman Organisasi dan Administrasi Dharmayukti Karini hasil Keputusan Munas VI Dharmayukti Karini Nomor 02/MUNASVI/DYK/XII/2018 tentang Pengesahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan Pedoman Organisasi dan Administrasi, bahwa busana resmi yang dikenakan saat menghadiri pelantikan suami tercinta adalah Kebaya Lurik, kebaya motif lurik, kebaya Kartini dengan sedikit kuthubaru, bagian depan meruncing, panjang kebaya bagian belakang menutupi bokong, dipadu dengan kain sarung batik overslag. Bila berjalan lenggak lenggok masih terkesan seksi dan anggun meskipun sudah nenek-nenek. Ya, istri hakim tinggi rata-rata nenek karena sudah punya cucu/minimal kalau tidak punya anak, cucu kemenakan. Bersanding dengan baju toga dan kalung jabatan, mantap serasi dan terkesan berwibawa. Lebih keren jika tas, sepatu, lencana dan asesoris lain serasi.
4. Susunan Acara dan Teks Pelantikan
Untuk susunan acara pelantikan dan sumpah jabatan hakim/pimpinan sebaiknya mengikuti panduan Perka BKN, paling kurang memuat:
- menyanyikan dan/ atau mendengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya;
- pembacaan Surat Keputusan Pengangkatan dalam Jabatan;
- pembacaan naskah pelantikan;
- pengambilan sumpah/janji jabatan; dan
- penandatanganan berita acara pelantikan dan pengambilan sumpah /janji jabatan.
Dilingkungan MA ditambah Mars Mahakamah Agung setelah Indonesia Raya. Boleh pula ditambah acara lain yang relevan, seperti lagu Padamu Negeri, pembacaan doa, sambutan dll.
Adapun untuk teks kata-kata pelantikan umumnya menggunakan redaksi sebagaimana termuat pada anak lampiran 2 Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 7 tahun 20i7, yakni: Bismillahirrahmanirrahiim, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat allah s.w.t. Tuhan Yang Maha Esa atas taufiq dan hidayah-Nya, maka pada hari ini, tanggal bulan tahun saya dengan ini secara resmi melantik: saudara - saudara dalam jabatan yang baru di lingkungan .........*). Saya percaya bahwa Saudara-Saudara akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan. Semoga Allah S.W.T Tuhan Yang Maha Esa bersama kita.
Tata cara, upacara dan acara pelantikan dan sumpah jabatan di Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan di Bawahnya kurang lebih seperti gambaran di atas, bervariasi sesuai pejabat yang dilantik, jumlah anggaran dan situasi kondisi lingkungan. Semua aturan tersebut di-setting ketika keadaan normal. Ketika wabah COVID-19 pelantikan dan sumpah jabatan dapat dilaksanakan secara virtual yag sudah barang tentu dibutuhkan penyesuaian seperlunya sepanjang tidak mengurangi hal-hal yang prinsip.
Daftar Pustaka:
- Pengurus Pusat Dharmayukti Karini, Buku Pedoman Organisasi Dan Administrasi Dharmayukti Karini, Mega Mendung, 4 Desember 2018;
- Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003);
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung RI;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan;
- Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS;
- Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2018 tentang Tata Pakaian pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi;
- Peraturan BKN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelantikan dan Sumpah/Janji Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional dan Jabatan Pimpinan Tinggi;
- Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 23/KMA/SK/II/2019 tentang Ketentuan Pemakaian Toga Hakim dan Kalung Jabatan pada Acara-Ac